Juara I
Lomba Karya Tulis Cinta Puspa dan Satwa yang Diselenggarakan oleh
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDALDA)
Oleh :
- Nurul Ihsan Fawzi
- Nur Cholis Al-Hadi
- Bambang Setya Aji
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Iklim sangat mempengaruhi dari persebaran flora dan fauna di suatu negara, perubahan iklim akan mempengaruhi keberadaan flora dan fauna baik dari segi jumlah maupun persebaran yang semakin berkurang. Iklim sendiri adalah keadaan rata-rata cuaca pada suatu daerah dalam kurun waktu yang relatif lama. Sedangkan wilayahIndonesia, memiliki iklim tropis yang sangat dikenali melalui tumbuhan yang sangat besar dan selalu hijau sepanjang tahun.
Perubahan Iklim sendiri berpengaruh terhadap flora dan fauna di daerah Indonesia. Akibatnya ada jenis-jenis flora dan fauna tertentu yang dapat hidup dengan jenis iklim tertentu. Faktor-faktor pembentuk iklim diantaranya: temperatur udara, angin dan curah hujan secara bersama-sama mempengaruhi persebaran flora dan fauna.
Dalam pernyataannya menyambut Hari Keanekaragaman Hayati Dunia yang diperingati setiap tanggal 22 Mei 2007, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ir. Rachmat Witoelar mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, perubahan iklim juga telah dirasakan berdampak pada pertanian, ketahanan pangan, kesehatan manusia, dan pemukiman manusia, lingkungan, termasuk sumber daya air dan keanekaragaman hayati. Akibat nyata dampak perubahan iklim terhadap spesies sebagai komponen keanekaragaman hayati adalah berupa perubahan dalam kisaran penyebaran, meningkatnya tingkat kelangkaan, perubahan waktu reproduksi, dan perubahan dalam lamanya suatu musim tanam. Dan ini didukung oleh Laporan IPCC (International Panel on Climate Chiange) pada April 2007 tentang dampak, kerentanan, dan adaptasi pada perubahan iklim mengemukakan bahwa kurang lebih 20-30% tumbuhan dan hewan diperkirakan akan meningkat risiko kepunahannya jika kenaikan temperatur global rata-rata di atas 1,5 – 2,5 derajat celsius.
Wilayah Indonesia yang masuk pada kelompok iklim hutan hujan tropis salah satunya pulau Kalimatan yang memiliki banyak keanekaragaman hayati yang secara endemik mendiami pulau Kalimantan dan sangat dipengaruhi oleh iklim. Oleh karenanya banyak spesies makhluk hidup yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, maka dikhawatirkan spesies yang ada akan terganggu dan mengalami kepunahan. Walaupun saat ini dari pihak Departemen Kehutanan telah memberikan status langka pada spesies yang terancam punah ternyata tak mampu memberikan dampak positif bagi kelangsungan hidupnya.
Salah satu satwa yang ada yaitu Pesut (Orcaella brevirostris) dianggap sebagai satwa yang paling terancam punah. IUCN (2002) telah memberikan status Critically Endangared (kritis terancam punah) pada jenis ini, sementara CITES telah menempatkannya pada Appendix 1 yang bearti jenis ini tidak diperkenankan untuk diperdagangkan. Pemerintah Republik Indonesia sendiri telah memberikan pengakuan atas kelangkaan dan ancaman kepunahan terhadap jenis ini dengan menetapkannya sebagai jenis satwa liar yang nyata terhadap pelestarian pesut yang habitatnya di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Disamping itu berbagai permasalahan yang menjadi ancaman bagi pesut seperti pendangkalan danau-danau Mahakam, pencemaran air, lalu-lintas air yang ramai, penurunan jumlah makanan dan penggunaan jaring (rengge).
Keberadaan pesut yang dari tahun 1975 memiliki 1000 ekor populasi dan sampai saat ini diperkirakan jumlah pesut tinggal 50 ekor di Sungai Mahakam. Pesut yang jumlahnya semakin sedikit diperkirakan ada hubungannya dengan perubahan iklim yang dapat mengganggu habitat pesut tersebut. Dan saat ini Pesut telah dilindungi undang-undang melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa liar.
Sebagai satwa liar yang dinyatakan terancam punah, pemberian status kelangkaan pada pesut seperti tersebut diatas ternyata belum memberikan dampak positip kepada keberadaan pesut supaya tetap lestari dan terjaga.
Dengan melihat latar belakang tersebut diatas, maka peneliti memberikan judul penelitian sebagai berikut “ Pengaruh perubahan iklim terhadap penurunan dan persebaranpopulasi pesut di Sungai Mahakam”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah:
- Bagaimana pengaruh perubahan iklim terhadap penurunan dan persebaran populasi pesut di Sungai Mahakam?
- Bagaiamana distribusi dan penyebaran populasi pesut di sungai Mahakam dari waktu kewaktu?
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan
Supaya dalam penelitian ini permasalahan tidak berkembang, maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada:
1. Penelitian ini menyangkut populasi Pesut yang ada di Sungai Mahakam.
2. Iklim dalam hal ini yang mempengaruhi kondisi sungai Mahakam.
1.4 Maksud dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan bertujuan:
- Untuk mengetahui pengaruh iklim terhadap penurunan populasi pesut di Sungai Mahakam.
- Untuk mengetahui distribusi dan penyebaran populasi pesut di sungai Mahakam dari waktu kewaktu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Iklim
Menurut Dra. Cut Meurah Regariana:2004, Cuaca adalah keadaan udara pada saat tertentu dan di wilayah tertentu yang relatif sempit dan pada jangka waktu yang singkat. Cuaca itu terbentuk dari gabungan unsur cuaca dan jangka waktu cuaca bisa hanya beberapa jam saja. Misalnya: pagi hari, siang hari atau sore hari, dan keadaannya bisa berbeda beda untuk setiap tempat serta setiap jamnya. Di Indonesia keadaan cuaca selalu diumumkan untuk jangka waktu sekitar 24 jam melalui prakiraan cuaca hasil analisis Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Departemen Perhubungan. Untuk negara negara yang sudah maju perubahan cuaca sudah diumumkan setiap jam dan sangat akurat (tepat).
Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun yang penyelidikannya dilakukan dalam waktu yang lama (minimal 30 tahun) dan meliputiwilayah yang luas.Matahari adalah kendali iklim yang sangat penting dan sumber energi di bumiyang menimbulkan gerak udara dan arus laut. Kendali iklim yang lain, misalnya distribusi darat dan air, tekanan tinggi dan rendah, massa udara, pegunungan,arus laut dan badai.
Iklim merupakan unsur geografis yang sangat mempengaruhi kehidupan mahluk hidup secara luas. Pengertian iklim sendiri adalah keadaan rata-rata cuaca pada suatu wilayah dalam kurun waktu yang relative lama (Marah Uli H, 2005).
Menurut Marah Uli H dan Asep Mulyadi, faktor-faktor pembentuk iklim antara lain:
- Radiasi matahari
- Temperatur udara
- Tekanan udara
- Kelembapan udara
- Awan
- Curah hujan
- Angin
Berdasarkan garis lintang Indonesia yaitu berada pada 50 LU- 110 LS, maka menurut pengklasifikasian iklim matahari Indonesia memiliki iklim tropis. Menurut pengklasifikasian iklim koppen yang berdasarkan pada temperature udara dan curah hujan, Indonesia memiliki iklim hutan hujan tropis.
Karekteristik iklim hutan hujan tropis ialah sebagai berikut.
- Matahari bersinar sepanjang tahun.
- Curah hujan tinggi dan merata sepanjang tahun
- Amplitudo temperature tahunan relatif kecil (antara 250-300 C)
- Dibawah tudung pohon selap sepanjang hari, seolah-olah tidak ada perbedaan temperatur antara siang dan malam.
Hutan hujan tropis terdapat di daerah tropis dan subtropis. Hutan ini sepanjang tahun selalu mendapatkan air dan mempunyai spesies pepohonan yang beragam. Ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Masa pertumbuhan lama,
2. jenis tumbuhan banyak
3. ketinggian 20-40 meter,
4. berdaun lebar,
5. hutan basah,
6. jenis pohon sulur sehingga kayu keras.
2.1.2 Pesut dan Habitatnya
Pesut termasuk golongan lumba-lumba oleh karena itu walaupun hidup di air, pesut bukanlah ikan melainkan mamalia. Pesut (Orcaela brevirostris) merupakan salah satu mamalia yang hidup di dalam air, bernapas menggunakan paru-paru dan berkembang biak dengan cara melahirkan.Pesut dewasa memiliki berat rata-rata antara 90-200 kg dengan panjang antara 2-2,7 meter dan berwarna abu-abu.
Secara umum, dunia mengenal pesut dengan nama Irrawaddy Dolphin. Nama itu merujuk pada salah satu sub populasi yang terdapat di sungai Irrawaddy/Ayeryawaddy di Myanmar, Asia tenggara.
Berdasarkan Red Data Book IUCN (1991), jenis pesut diklasifikasikan sebagai berikut:
Ordo : Cetacea
Sub Ordo : Odontoceti
Super famili : Delphoinidae
Famili : Delphinidae
Sub famili : Orcaellinae
Genus : Orcaella
Spesies : Orcaella bervirostris.
- Perilaku pesut
Jenis pesut yang hidup di air tawar, tergolong tidak terlalu aktif dibanding dengan kebanyakan jenis lumba-lumba lainnya. Akan tetapi, pada keadaan tertentu terkadang melakukan lompatan-lompatan.
Pesut umumnya bernafas tiga kali dalam interval berdekatan, kemudian menyelam selama satu sampai dua menit. Waktu menyelam akan lebih lama bila menyendiri atau mengalami ketakutan, namun maksimal 12 menit. Laju berenang maksimal 15 km/jam (normalnya 3-4 km/jam), berkelompok dalam jumlah kecil maksimal tujuh ekor dengan anak,namun pernah ditemukan 8-10 ekor dalam satu kelompok. Sebagian besar waktu bagi pesut, digunakan untuk makan dan mencari makan.
- Makanan pesut
Pesut tergolong pemakan segala, mengambil makanan dari dalam sungai (melayang) maupun dasar sungai. sekalipun pesut pemakan segala, namun ikan bertulang adalah favoritnya. Selain itu pesut juga memakan crustacean, chiphalopoda dan telur ikan. Kebutuhan makanan bagi seekor pesut dewasa mencapai 10-19 kg/hari atau sekitar 10% dari berat tubuhnya.
2.1.3 Dampak iklim terhadap kehidupan pesut
Pesut adalah mamalia yang sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan habitat hidupnya. Sedikit saja pesut mengalami gangguan di habitatnya, akan membuatnya stress dan berakibat buruk pada pesut. Perubahan pembentuk iklim yang banyak dipengaruhi oleh kerusakan lingkungan seperti kerusakan hutan akan berdampak negative pada perubahan di lingkungan habitat pesut Mahakam. Hal itu sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan pesut Mahakam yang sangat sensitive terhadap perubahan itu.
2.2 Metode Penelitian
Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data pada penelitian ini terdiri dari beberapa metode:
2.2.1 Metode Kepustakaan
Metode ini digunakan dalam keseluruhan proses penelitian sejak awal hingga sampai akhir penelitian dengan cara memanfaatkan berbagai macam pustaka yang relevan dengan fenomena yang telah dicermati. Dengan demikian keakuratan data dapat kita peroleh secara lebih jelas.
2.2.2 Survey
Data yang kami peroleh dari kajian pustaka, kami gunakan untuk dasar acuan dalam melakukan survey lapangan secara langsung. Kami melakukan survey di tiga lokasi yang menjadi habitat utama pesut, yaitu di Kecamatan Muara Kaman, Desa Kedang Pahu dan Desa Muara pahu.
2.2.3 Dokumentasi
Ketika kami melakukan penelitian, tak lupa kami juga mengambi data visual kondisi pesut itu sendiri. Dengan demikian, diharapkan setelah adanya data visual tersebut, kita dapat memperoleh gambaran yang nyata bagaimana kondisi pesut saat ini. Sehingga semakin memperjelas data yang telah kita peroleh dalam penulisan ini.
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1 Populasi dan Persebaran Pesut
Di dunia ini, pesut ( Orsaella brevirostris ) hanya dapat ditemukan di perairan perairan-prerairan tropis dan sub-tropis indo-pasifik. Di wilayah ini,pesut hidup di perairan dangkal pesisir pantai(termasuk estuary) dan sungai-sungai pedalaman. Pada ekosistem estuari, pesut dilporkan terdapat di muara-muara Sungai Gangga dan Brahmaputra. Sedangkan di perairan/sungai pedalaman keberadaan populasi besar pesut tercatat di Sungai Ayeryawaddy di Myanmar, Sungai Mekong di Vietnam dan kamboja serta Sungai Mahakam di Kalimantan, Indonesia.
Di Indonesia, masyarakat awam hanya mengenal pesut yang hidup di Sungai Mahakam beserta anak-anak sungai dan danau-danaunya yakni danau Semayang, danau Jempang, dan danau Melintang. Padahal beberapa catatan menyebutkan bahwa pesut pernah terlihat di Sungai Kapuas( Kalimantan Barat), Sungai Barito (Kalimantan Selatan), serta Sungai Kahayan( Kalimantan Tengah). Sungai Kumai (di sekitar Tanjung Putting) Kalimantan Tengah juga dilaporkan sebagai habitat satwa ini. Bukti keberadaan pesut di Sungai Mahakam di dapat dari BKSDA Kalimantan Timur dimana petugasnya menemukan pesut mati di Sungai Malinau.
Wilayah pesisir Kalimantan Timur, Khususnya Delta Mahakam juga disebut sebagai daerah sebaraan pesut ( Yayasan Konservasi RASI,2005). Demikian pula perairan Sungai Riko, Sungai Sepaku, dan Pulau Balang di kawasan Teluk Balikpapan dianggap sebagai salah satu habitat pesut di Kalimantan Timur.
Hal ini didukung oleh BKSDA Kaltim bahwa Penyebaran pesut sangat dipengaruhi oleh kondisi kedalaman perairan, disamping faktor kualitas air dankelimpahan ikan makanannya. Selama musim kemarau, sebagaimana terjadi pada musim kemarau tahun 1995, pesut banyak berkumpul dan bergerak di dalam sungai Mahakam, sungai Pela, sungai Melintang dan muara-muaranya. Hal ini terjadi karena pada saat air surut musim kemarau, danau-danau menjadi dangkal (kedalaman 1,-2,5 meter) dengan vegetasi rumput berakar di dasar dan rumput terapung yang rapat di sebagian besar danau. Bahkan reservat-reservat ikan seperti ini selain tidak memberikan ruang gerak bagi pesut, juga derajat keasaman yang rendah, sementara siang harinya menjadi panas.
Sebaliknya sungai Mahakam dengan kedalaman diatas 15 meter, sungai Pela dengan kedalaman 8,0-9,5 meter dan sungai Melitang dengan kedalaman 7,0-8,0 meter selama musim kemarau merupakan tempat yang layak bagi pesut. Disamping kedalamanya, sungai-sungai tersebut pada musim kemarau banyak dihuni ikan-ikan yang bermigrasi dari parairan rawa dan danau yang sebagian besar mengalami penyusutan dan pengeringan.
Di Sungai Mahakam, sampai awal tahun 1980-an, pesut masih dapat di jumpai di Samarinda. Tidak diketahui secara pasti apakah individu-individu tersebut adalah populasi pesisir yang masuk jauh ke pedalaman sungai atau memang individu-individu dari populasi pedalaman. Tetapi yang jelas tidak ada informasi terkini mengenai keberadaan pesut di sekitar Samarinda, bahkan hingga ke hulu Tenggarong.Informasi terakhir yang didapat Tim Survey BKSDA Kalimantan Timur tahun 2003 menyebutkan bahwa ada pesut terlihat di sekitar Desa Benua Puhun di hilir Muara Kaman (BKSDA Kaltim,2003)
Sekarang populasi pesut di sepanjang alur utama Sungai Mahakam dianggap tersebar mulai Muara Kaman, di hilir hingga ke hulu sejauh Riam Udang di dekat Long Bagun. Selai di alur utama Sungai Mahakam tersebut , sebaran pesut juga meliputi anak-anak sungai dan danau-danau Mahakam. Anak-anak sungai yang tercatat menjadi daerah sebaran pesut adalah Sungai Kedang Rantau, S. Kedang Kepala, S. Belayan, S Kedang Pahu, dan S. Ratah. Danau-danau yang saat ini menjadi daerah persebaran pesut ialah Danau Semayang dan Danau Melintang. Untuk danau jempang, Yayasan Konservasi RASI( 2005 ) memperkirakan bahwa sekarang tidak ada lagi pesut yang hidup di perairan ini.
Jumlah pesut dari tahun ke tahun semakin berkurang, hal dapat dijelaskan dengan melihat tabel dibawah ini.
Tabel 1. Populasi pesut Mahakam dari tahun 1975-2000.
TAHUN | POPULASI | PENURUNAN | PROSENTASE |
1975 | 1000 | 0 | 0.00 |
1980 | 800 | 200 | 21.05 |
1985 | 600 | 200 | 21.05 |
1990 | 400 | 200 | 21.05 |
1995 | 100 | 300 | 31.58 |
2000 | 50 | 50 | 5.26 |
2950 | 950 | 100.00 |
Sumber : BKSDA Kaltim:2000
Dari data tersebut dapat kita peroleh informasi bahwa setiap rentang tahun terjadi penurunan yang sangat signifikan. Dari rentang waktu antara 1975-2000 penurunan pesut terjadi sangat besar yaitu 950 ekor. Dimana dari 1975-1985 tiap terjadi pengurangan 200 ekor atau 21,05%. Pada tahun 1980-1985 terjadi penurunan 200 ekor atau 21,05%. Sama seperti rentang tahun sebelumnya, pada rentang tahun 1985-1990 penurunan pesut sebanyak 200 ekor atau 21,05%. Sedangkan pada rentang tahun 1990-1995 penurunan pesut yang sangat besar yaitu 300 ekor atau 31,58%. Tetapi pada rentang tahun 1995-2000 penurunan pesut sedikit berkurang, yaitu 50 ekor atau 5,26%. Semakin menurunnya jumlah polulasi pesut yang kita peroleh dari dari tahun ke tahun di data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa populasi pesut akan habis jika hal ini tetap terjadi.
Untuk perkembangan persebaran Pesut dari tahun ke tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Penyebaran pesut Mahakam dari tahun 1975-2000.
TAHUN | SEBARAN | PENURUNAN | PROSENTASE |
1975 | 590 | 0 | 0.00 |
1980 | 460 | 130 | 13.68 |
1985 | 350 | 110 | 11.58 |
1990 | 250 | 100 | 10.53 |
1995 | 150 | 100 | 10.53 |
2000 | 110 | 40 | 4.21 |
1910 | 480 | 50.53 |
Sumber : BKSDA Kaltim:2000
Dari tabel tersebut terlihat penurunan persebaran pesut sejak tahun 1975 hingga 2000, dimana persebaran pesut seluas 590 km² pada tahun 1975 menurun hingga 110 km² pada tahun 2000. Penurunan persebaran pesut yang tinggi terlihat pada rentang tahun 1980 yaitu sebesar 130 km².
Secara lebih jelas dengan perbandingan populasi pesut setiap rentang lima tahun ddapat kita lihat pada grafik berikut.
Grafik 1. Populasi dan persebaran pesut dari tahun 1975-2000
Penurunan populasi dan persebaran pesut dipengaruhi beberapa faktor.Faktor-faktor yang diduga sangat berpengaruh pada hilangnya fungsi danau sebagai habitat pesut, sehingga pesut tidak lagi ditemukan di perairan danau adalah:
- Pendangkalan danau, akibat tingginya proses sidementasi . Danau Semayang musim kering, hanya berkedalaman 0.5-1,0 meter dan Danau Melintang hampir terisolir dari sungaii Mahakam.
- Pertumbuhan gulma yang relatif cepat sehingga saat ini hampir 75% telah tertutupi oleh gulma sehingga mempersempit ruang gerak pesut.
- Perubahan kualitas air yang mengarah pada ekosistem rawa dengan warna air coklat kehitaman akibat surutnya air selama musim kemarau sehingga tidak ada input air baru yang dapat menetralisir perubahan tersebut
3.2 Pengaruh kerusakan lingkungan terhadap perubahan iklim
Perubahan iklim global disebabkan oleh meningkatnya kosentrasi gas di atmosfer. Hal ini terjadi sejak revolusi industri yang membangun sumber energi yang berasal dari batu bara, minyak bumi dan gas yang membuang limbah gas di atmosfer seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Sang surya yang menyinari bumi juga menghasilkan radiasi panas yang ditangkap oleh atmosfer sehingga udara bumi bersuhu nyaman bagi kehidupan manusia. Apabila kemudian atnosfer bumi dijejali gas, terjadilah “efek selimut” seperti yang terjadi pada rumah kaca, yakni radiasi panas bumi yang lepas ke udara ditahan oleh “selimut gas” sehingga suhu bumi naik dan menjadi panas. Semakin banyak gas dilepas ke udara, semakin tebal “selimut Bumi”, semakin panas pula suhu bumi.
Seperti telah dikemukakan bahwa terjadinya efek rumah kaca disebabkan oleh sejumlah massa berupa gas atau pertikel-pertikel halus yang ada di atmosfer, misalnya gas karbon dioksida, methane uap air dan partikel-partikel halus berupa debu yang berasal dari letusan gunung berapi. Efek rumah kaca ini sebenarnya sudah terjadi sejak beratus bahkan beribu tahun yang lalu, karena uap air dan karbon dioksida secara alamiah sudah hadir secara seimbang di atmosfer bumi ini. Adanya karbon dioksida dan uap air alamiah di atmosfer yang dalam keadaan seimbang inilah yang menciptakan variasi suhu udara seperti yang kita rasakan selama ini. Sebab kalau misalnya di atmosfer ini tidak terdapat gas karbon dioksida dan uap air maka suhu udara di bumi akan menjadi 340C lebih rendah dari yang kita rasakan saat ini. Namun apabila kadar gas rumah kaca di atmosfer bumi ini meningkat terus melebihi kadar alamiahnya akibat perilaku dan tindakan manusia (external factors) maka akan diikuti peningkatan suhu udara global. Akselerasi pertambahan kadar karbon dioksida di alam ini seharusnya agak dapat dikurangi oleh vegetasi kawasan hutan dan tanaman lainnya yang memerlukan gas karbon dioksida dalam proses fotosintesa. Namun ironisnya, manusia dengan dalih ingin memper-cepat laju pembangunan justru banyak mem-babat hutan dan membuka lahan.
Aktivitas manusia yang dapat menambah kadar karbon dioksida di atmosfer adalah semua kegiatan yang dikerjakan dengan menggunakan energi dimana energi tersebut diperoleh dari pembakaran bahan fosil, seperti batubara, minyak bumi dan gas alam. Sebagai produk samping utama dari energi yang diperoleh dari pembakaran bahan fosil tersebut adalah gas karbon dioksida yang makin lama akan makin memenuhi atmosfer bumi. Berapa banyak gas karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer bumi dapat di-ilustrasikan dengan data pada kondisi pada tahun 1997. Pada tahun 1997 tersebut telah diproduksi 5,2 milyard ton batubara, 26,4 milyard barrel minyak bumi dan 81,7 triliun kubik feet gas alam. Apabila bahan-bahan fosil tersebut dibakar untuk memperoleh energi maka akan dihasilkan karbon dioksida sebanyak 6,2 milyard metrik ton yang akan menyebar ke atmosfer bumi. Dari data yang dihimpun oleh UNEP menunjukkan bahwa kadar gas karbon dioksida di amosfer telah meningkat 31% sejak tahun 1975. Peningkatan gas karbon dioksida selama 20 tahun terakhir ini 75% berasal dari hasil pembakaran energi fosil (minyak bumi, gas alam dan batubara).
Kondisi ini akan menyebabkan efek berantai dimana dengan meningkatnya suhu udara akan menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas penguapan air permukaan dan air laut. Dengan meningkatnya intensitas penguapan air permukaan berarti menambah kadar uap air di atmosfer dan ini menambah konsentrasi gas rumah kaca. Dengan makin meningkatnya intensitas penguapan juga mengakibatkan meningkat dan berubahnya pola presipitasi di wilayah tertentu yang menyebabkan terjadinya banjir di suatu wilayah dan kekeringan di wilayah lainnya.
Sistem alam dan kehidupan akan terpengaruh oleh terjadinya perubahan iklim, yang dimanifestasi-kan dari gejala-gejala sebagai berikut, yaitu:
- perubahan suhu udara yang variatif
- perubahan pola dan intensitas siklus hidrologi
- perubahan jumlah dan pola presipitasi
- terjadinya extreme weather events
- meningkatnya permukaan air laut akibat mencair-nya es di kutub bumi
- perubahan kadar air tanah (soil moisture) dan kondisi sistem hidrologi pada umumnya
Perubahan iklim yang diperkirakan akan menyertai pemanasan global adalah sebagai berikut:
1. Mencairnya bongkahan es di kutub sehingga permukaan laut naik.
2. Air laut naik maka akan menenggelamkan pulau dan menghalangi mengalirnya air sungai ke laut yang menimbulkan banjir di dataran rendah kalau di Indonesia seperti pantai utara Pulau Jawa, dataran rendah Sumatera bagian timur, Kalimantan bagian selatan, dan lain-lain.
3. Yang paling mencemaskan adalah berubahnya iklim sehingga berdampak buruk pada pola pertanian Indonesia yang mengandalkan makanan pokok beras pada pertanian sawah yang bergantung pada musim hujan. Suhu bumi yang panas menyebabkan mengeringnya air permukaan sehingga air menjadi langka. Ini memukul pola pertanian berbasis air.
4. Meningkatnya resiko kebakaran hutan.
5. El Nino dan La Nina
El Nino dan La Nina merupakan gejala yang menunjukkan perubahan iklim. El Nino adalah peristiwa memanasnya suhu air permukaan laut di pantai barat Peru – Ekuador (Amerika Selatan yang mengakibatkan gangguan iklim secara global. Biasanya suhu air permukaan laut di daerah tersebut dingin karena adanya up-welling (arus dari dasar laut menuju permukaan). Menurut bahasa setempat El Nino berarti bayi laki-laki karena munculnya di sekitar
Hari Natal (akhir Desember). Di Indonesia, angin monsun (muson) yang datang dari Asia dan membawa banyak uap air, sebagian besar juga berbelok menuju daerah tekanan rendah di pantai barat Peru – Ekuador. Akibatnya, angin yang menuju Indonesia hanya membawa sedikit uap air sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang. Sejak tahun 1980 telah terjadi lima kali El Nino di Indonesia, yaitu pada tahun 1982, 1991, 1994, dan tahun 1997/98. El Nino tahun 1997/98 menyebabkan kemarau panjang, kekeringan luar biasa, terjadi kebakaran hutan yang hebat pada berbagai pulau, dan produksi bahan pangan turun dratis, yang kemudian disusul krisis ekonomi. El Nino juga menyebabkan kekeringan luar biasa di berbagai benua, terutama di Afrika sehingga terjadi kelaparan di Etiopia dan negara-negara Afrika Timur lainnya. Sebaliknya, bagi negara-negara di Amerika Selatan munculnya El Nino menyebabkan banjir besar dan turunnya produksi ikan karena melemahnya upwelling. La Nina merupakan kebalikan dari El Nino. La Nina menurut bahasa penduduk lokal berarti bayi perempuan. Peristiwa itu dimulai ketika El Nino mulai melemah, dan air laut yang panas di pantai Peru – ekuador kembali bergerak ke arah barat, air laut di tempat itu suhunya kembali seperti semula (dingin), dan upwelling muncul kembali, atau kondisi cuaca menjadi normal kembali. Dengan kata lain, La Nina adalah kondisi cuaca yang normal kembali setelah terjadinya gejala El Nino. Perjalanan air laut yang panas ke arah barat tersebut akhirnya akan sampai ke wilayah Indonesia. Akibatnya, wilayah Indonesia akan berubah menjadi daerah bertekanan rendah (minimum) dan semua angin di sekitar Pasifik Selatan dan Samudra Hindia akan bergerak menuju Indonesia. Angin tersebut banyak membawa uap air sehingga sering terjadi hujan lebat. Penduduk Indonesia diminta untuk waspada jika terjadi La Nina karena mungkin bisa terjadi banjir. Sejak kemerdekaan di Indonesia, teuhlah terjadi 8 kali La Nina, yaitu tahun1950, 1955, 1970, 1973, 1975, 1988, 1995 dan 1999.
3.3 Dampak perubahan Iklim terhadap kerusakan habitat pesut
· kerusakan hutan
“Hutan” ialah lapangan bertumbuhan pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai (UU No 5 thn 1967).
Peristiwa el-Nino sebagai dampak dari perubahan iklim sangat mempengaruhi vegetasi hutan yang ada disekitar habitat pesut. Kemarau panjang sebagai dampak dari peristiwa El-Nino telah menyebabkan kekeringan yang berkepanjangan. Akibat dari kekeringan tersebut adalah banyaknya kebakaran hutan dan berkurangnya debit air di sungai Mahakam.
Setelah peristiwa tersebut, vegetasi hutan yang berguna sebagai penahan erosi banyak yang rusak. Sehingga ketika musim penghujan tiba, tingkat erosi yang dihasilkan sangat tinggi dan mengakibatkan sidementasi pada sungai sebagai habitat pesut. Sidementasi tersebut mengakibatkan pendangkalan sungai yang sangat signifikan didaerah pesut hidup. Sehingga habitat pesut yang ideal dengan kedalaman 9-12 meter tidak lagi ideal. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya populasi pesut.
· Perubahan pH atau konsentrasi
Air normal yang memenuhi syarat untuk kehidupan berkisar antara 6,5-7,5. Perubahan pH sangat berdampak terhadap sumber makanan pesut. Makin asam atau basa suatu perairan membuat semakin sedikitnya mikroorganisme yang secara tidak langsung mempengaruhi rantai makanan. Pesut sebagai Konsumen tertingggi dalam rantai makanan tersebut, akan merasakan dampaknya sehingga berdampak pula pada populasi pesut. Perubahan pH air dapat disebabakan oleh sendimentasi DAS Mahakam dan Danau-danau tempat habitat alami yang dikarenakan rusaknya hutan sebagai dampak terjadinya el-nino, pencemaran limbah industri maupun rumah tangga seperti yang terjadi di Samarinda,juga menjadi faktor perubahan pH air.
· Penurunan kadar oksigen dalam air
Oksigen merupakan zat yang sangat vital bagi makhluk hidup. Berkurangnya kadar oksigen berakibat menurunnya laju metabolisme makhluk hidup yang akhirnya dapat berdampak pada kematian. Semakin berkurangnya kadar oksigen dalam air menyebabkan penurunan populasi ikan-ikan kecil yang merupakan sumber pakan utama pesut. Penurunan kadar oksigen dapat disebabkan beberapa hal diantaranya pencemaran limbah industri oleh pabrik yang membuang limbahnya ke sungai Mahakam, limbah rumah tangga seperti buangan deterjen dan booming(eutrofikasi)fitoplankton ataupun tumbuhan gulma akibat dari sidementasi yang tinggi dengan membawa unsur hara yang sangat banyak sebagai dampak dari perubahan iklim.
Berikut ini data kualitas air di Danau Semayang dan Danau Melintang.
Tabel 1. Keadaan pH dan DO di kedua danau pada bulan agustus 1998
No | Lokasi | Danau Semayang | Danau melintang | ||
pH | DO | pH | DO | ||
1 | Tepi Selatan | 6,52 | 0,63 | 6,09 | 3,22 |
2 | Tepi Timur | 5,84 | 1,15 | 5,66 | 3,41 |
3 | Tepi Utara | 5,99 | 0,67 | 5,82 | 2,97 |
4 | Tepi Barat | 5,67 | 1,47 | 5,98 | 4,70 |
5 | Tengah Selatan | 4,65 | 0,06 | 5,60 | 1,84 |
6 | Tengah Timur | 5,31 | 0,81 | 5,55 | 3,03 |
7 | Tengah Utara | 4,82 | 0,16 | 5,95 | 1,48 |
8 | Tengah Barat | 4,52 | 0,04 | 5,62 | 2,10 |
Sumber : BKSDA Kaltim
Mengamati data dari kualitas air kedua danau tersebut tampak bahwa kualitas air danau secara umum rendah. Nilai parameter pH dan oksigen terlarut (DO) sangat rendah. Ini akan sangat berpengaruh untuk jangka panjang bagi pesut karena makanan mereka akan berkurang akibet kualitas air yang rendah.
· Pencemaran zat kimia terhadap sungai
Pencemaran zat kimia seperti mercuri, DDT, batu bara dan sebagainya sangat mempengaruhi populasi pesut di sungai Mahakam. Selain dapat mematikan pesut, zat kimia tersubut juga dapat menurunkan tingkat kekebalan pesut dialam. Contohnya adalah pencemaran batu bara dapat merubah pigmen kulit pesut dan menurunkan kemampuan beradaptasi, sehingga berdampak pada penurunan populasi pesut di alam.
· Pendangkalan sungai dan danau
Penyebab utama pendangkalan danau adalah lumpur dari DAS Mahakam Hulu. Hasil analisis Dinas Pekerjaan Umum Kaltim Tahun 1993 terhadap sidemen sungai Mahakam yang masuk ke danau secara fisik dapat mengakibatkan sidementasi setebal 10-12 cm/tahun. Rusaknya sub DAS Mahakam hulu yang diakibatkan oleh penebangan hutan secara liar, pertambangan batu bara dan minyak bumi dan kegiatah HTI memperparah proses pengendapan di sungai Mahakam. Hal ini sangat berpengaruh bagi kehidupan pesut karena pesut habitat ideal untuk hidup di sungai dengan kedalaman minimal 9-12 meter. Dari penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Konservasi RASI memperkirakan bahwa tidak ada lagi pesut yang hidup di perairan Danau Jempang padahal danau Jempang pernah menjadi habitat alami pesut. Hal ini disebabkan oleh pendangkalan yang sangat hebat di danau jempang.
3.4 Langkah-langkah penyelesaian
1. Penurunan persebaran dan penurunan populasi pesut di Sungai Mahakam, dapat diatasi dengan:
· Diperlukan adanya wilayah konservasi yang secara khusus melindungi pesut Mahakam. Sebagai langkah kongkret untuk perlindungan pesut dari kepunahan, yang secara intregasi khususnya menyangkut pemeliharaan dan peningkatan populasi jenis ikan pakan pesut, perbaikan habitat dan pengaturan pemanfaatannya.
· Penyuluhan kepada masyarakat di sekitar habitat pesut Mahakam agar lebih bersahabat dengan pesut. Dengan demikian pencemaran-pencemaran yang dihasilkan dapat mencemari habitat pesut Mahakam lebih ditekan keberadaannya.
2. Iklim yang mengalami kerusakan dapat diatasi dengan beberapa cara diantaranya:
· Penghentian penebangan hutan secara liar
Hutan yang berkurang akibat penebangan liar akan mengakibatkan kurangnya gas CO2 yang disintesis kembali menjadi gas oksigen. Jika gas karbondioksida sedikit yang disintesis dan masih berkeliaran di atmosfer bumi tanpa terkendali, maka gas karbondioksida akan terperangkap dan mengakibatkan efek rumah kaca.
· Reboisasi hutan
Sebagai langkah lanjutan atas banyaknya hutan yang rusak, maka penanaman kembali hutan adalah langkah kongkret untuk merehabilitasi kondisi hutan yang telah rusak.
· Pengurangan penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil dan peralatan yang menghasilkan gas feon( CFC ), karena semakin besar pemakaian akan menyebabkan lubang ozon yang semakin besar.
· Perlunya bahan bakar alternative pengganti yang ramah lingkungan.
Bahan bakar fosil yang semakin berkurang akan merupakan suatu problem yang harus dihadapi oleh kita. Oleh karenanya, adanya bahan bakar pengganti sangat diperlukan untuk kemakmuran kita semua.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Wilayah penyebaran dan jumlah populasi pesut terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun
2. Kerusakan lingkungan berakibat berubahnya iklim global dan perubahan iklim tersebut akan berdampak kembali kepada lingkungan
3. Perubahan iklim berdampak rusaknya habitat pesut yang mengakibatkan penurunan daerah persebaran pesut dan jumlah populasi pesut.
4.2 Saran
- Kepada pemerintah agar lebih memperhatikan dan peduli habitat pesut Mahakam secara lebih nyata. Salah satu peran yang harus dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan Undang-undang yang melindungi pesut Mahakam.
- Kepada masyarakat di sekitar habitat pesut untuk lebih peduli terhadap pesut dan melindungi keberadaanya.
- Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran terutama menyangkut kerusakan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Bayong Tjasyono, Dr.1999. Klimatologi Umum, Bandung: FMIPA – ITB.
Badan Konservasi Sumber Daya Alam. 2000. Kalimantan Timur.
Chandra Darma Boer. 2003. Strategi Konservasi Pesut Mahakam dan Habitatnya.BKSDA Kaltim. 1997.
Dra. Cut Meurah Regariana.2004. Atmosfer (Cuaca dan Iklim). Solo, Tiga Serangkai.
Hasil Penelitian Potensi Pesut Air Tawar di perairan sungai Mahakam.
Hasil monitoring populasi pesut Mahakam. 2003. BKSDA Kaltim wilayah II. Tenggarong.
Hasil monitoring Populasi Pesut Mahakam. 2004. BKSDA Kaltim wilayah II. Tenggarong.
Klinowsko, M. 1991. Dolphins Porpoises and whales of The World. The IUCN red Data Book. IUCN. Gland.
K. Wardiyatmoko. 2005. Geografi SMA Kelas XI. Erlangga, Jakarta.
Marah Uli H dan Asep Mulyadi. 2005. Geografi SMA Kelas X. ESIS, Jakarta.
Wisnu Arya Wardhana. 1994. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset, Yogyakarta.
Yayasan konservasi RASI. 2005. Program Konservasi Pesut Mahakam.
Filed under: Karya Tulis
0 comments:
Post a Comment